Patjar Merah


Sesuai alarm yang sudah diatur, aku terbangun dini hari tepat di jam 1:30 WIB. Hari ini aku akan pergi ke Jakarta, tepatnya ke PosBloc. Ada event Temu Pendidik Nusantara ke XI dan perusahaanku turut serta menjadi partisipan di acara tersebut. Sponsor kecil-kecilan aja.

Aku berangkat tepat jam 2 pagi dari rumah dan sampai di PosBloc jam 4:15 WIB. Perjalanannya lancar, ditemani podcast The Founders Theory.

Setiap datang ke Jakarta, aku selalu freak out, khawatir salah jalan karena map nya bisa menyesatkan saat bertemu percabangan dan jalan layang. Tapi syukurlah aku bisa sampai di Jakarta tepat waktu.

PosBloc Jakarta

Ini merupakan pengalaman pertamaku mengunjungi gedung PosBloc. Sempat kebingungan mencari tempat parkir kendaraan karena posisi ku berhenti saat ini merupakan parkir untuk tamu VIP. Tapi sesuai peribahasa “malu bertanya sesat di ranjang di jalan”, akhirnya oleh petugas security yang sedang berjaga, aku ditunjukkan arah parkir untuk non-vallet.

Aku sedang tidak berminat untuk menjadi VIP karena ujung-ujungnya bukan aku orang yang penting buatmu, eyyaaaa, acak-acaak.. acak-acaak.. acak-acaak.. jika hatimu terluka karena sesuatu 🎵

…you sing, you lose!

Toko Buku Patjar Merah

Ternyata di dalam gedung PosBloc ada banyak sekali tenant-tenant menarik dan satu yang langsung menarik perhatianku adalah keberadaan Patjar Merah. Aku sering mendengar tentang Patjar Merah dan aku langsung excited saat menemukannya. Setelah agak luang, aku akan menyempatkan mampir. Mumpung lagi di PosBloc.

Gerbang Patjar Merah

Sejarahnya Patjar Merah

Patjar Merah didirikan oleh kak Windy Ariestanty, sosok yang menurutku sangat inspiratif di skena literasi Indonesia. Pertama kali aku mendengar tentang kak Windy dan Patjar Merah itu tahun 2020 lewat kiriman IG stories dari temanku.

Aku yang mencintai buku dan dunia literasi, langsung tergerak untuk ngulik lebih dalam tentang Patjar Merah. Ceritanya dimulai saat kak Windy merasa prihatin dengan toko buku di Indonesia. “Gimana kalau kita bikin tempat yang bukan cuma jualan buku, tapi juga jadi ruang untuk berkumpul dan berdiskusi?” Dari situlah ide untuk mendirikan Patjar Merah muncul.

Patjar Merah bukan sebuah nama yang diambil secara sembarangan. Dia berasal dari karya sastra yang ditulis oleh Matu Mona, yaitu roman berjudul Spionnage-Dienst. Nama “Patjar Merah” sendiri diambil dari istilah dalam bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari “Scarlet Pimpernel”, sebuah bunga yang menjadi simbol perjuangan dan keberanian dalam cerita fiksi tersebut.

Tidak Hanya Sekedar Jualan Buku

Kolase Patjar Merah

Satu hal yang menarik bagiku tentang Patjar Merah adalah komitmennya terhadap buku-buku independen dan komunitas literasi. Aku banyak menemukan buku-buku yang jarang muncul di toko-toko buku besar. Kalau tidak ingat dengan tumpukan buku yang belum selesai aku baca, pastinya aku udah kalap bawa pulang beberapa buku indie yang menarik.

Terkadang perlu ada jarak untuk bisa memahami sesuatu. Bukan cuma tentang membeli buku baru, tapi jarak antara dua hati yang sudah tidak lagi satu tuju,,, alamaaak, yabaiii

Mereka percaya bahwa setiap buku memiliki cerita dan nilai yang penting, tak terkecuali buku-buku dari para penulis independen. Aku merasa dengan mereka berjualan buku-buku indie, khasanah literasi kita jadi semakin kaya. Sekarang ini eranya apa-apa itu dibuat platform. Karena platform lah yang bisa menjangkau kalangan yang tepat.

Dan Patjar Merah menjadi salah satu platform yang unik dimana mereka sering mengadakan program-program literasi yang tersebar di beberapa kota. Dengan mobilitasnya (yang tidak hanya mengandalkan outlet fisik), mereka menjangkau hingga ke daerah-daerah melalui festival-festival literasi.

Jadi, ketika kamu mengunjungi Patjar Merah dan membeli buku disana, kamu tidak hanya sekedar berbelanja, tetapi juga ikut serta dalam sebuah gerakan yang lebih besar dalam memajukan literasi dan budaya Indonesia.

Jualan buku adalah satu hal, tapi message yang ingin disampaikan ketika ambil bagian di dalamnya, seperti sebuah komunitas yang merayakan cinta terhadap buku dan pengetahuan.

Yang Baru Memulai

Blue and Yellow

Ngomong-ngomong soal Matu Mona yang sempat di mention tadi, arti dari nama tersebut adalah “Yang Baru Mulai”. Diambil dari bahasa Mandailing, tempat kelahiran Hasbullah Parinduri alias Matu Mona itu sendiri.

Aku jadi reflect ke diriku sendiri. Sepanjang aku hidup sering merasa bahwa tidak ada karya yang bisa aku banggakan. Aku cukup kompetitif dan gak mau kalah dari orang-orang yang aku kenal. Aku selalu ingin menjadi yang terbaik dan tidak suka menjadi nomor dua.

Namun kali ini, hari ini, aku sedang tidak ingin berkompetisi dengan orang lain. Aku ingin berkompetisi melawan diriku sendiri di versi hari-hari sebelumnya. Aku ingin menjadi lebih baik dari kemarin.

Jadi, aku baru memulai lagi perjalanan untuk membangun dan mengembangkan diri. Menemukan bentuk karya yang cocok buatku dan bisa aku banggakan. Beberapa hal yang masih aku notice diantaranya:

  • masih suka ke trigger oleh postingan di sosial media
  • seseorang di masa lampau pernah menyebutku pengecut karena menghindari sosial media
  • masih bisa terpengaruh dengan sikap dan perilaku orang lain

Namun aku juga mulai improve dalam hal:

  • Tidak reaktif
  • Menahan diri untuk berbicara kecuali ketika diajak bicara
  • Bersikap bodo amat, tidak semua hal harus dipikirkan secara berlebihan
  • Merespon dengan high-class

Epilog

Mayar AI Assistant

Perjalanan ke Jakarta, PosBloc, dan mampir ke Patjar Merah hari ini menjadi semacam moment of realization. Jalan untuk mencapai titik yang sangat ingin aku tuju, ternyata memang tak seindah sentuhan mata.

Pangkalnya masih jauh, ujungnya juga masih belum keliatan. Tapi justru karena itulah aku bisa survive sampai hari ini. Tidak peduli sebanyak apapun halangan dan rintangan yang menghadang, aku selalu menemukan cara. Tidak peduli sebanyak apapun kegagalan yang datang, aku selalu bisa bangkit berdiri.

Saat kamu merasa duniamu sedang runtuh, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain memupuk keberanian untuk bangkit. Ayok, bertaruhlah demi hidupmu, karena kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan melakukannya demi kamu?

Ketika keberanian merekah, seluruh pandanganmu tentang dunia berubah, begitupun dengan caramu hidup.

TPN MAIA